Kamis, 28 Mei 2009

Para pemikir Islam dari Kerajaan Aceh

Pada masa Kerajaan Aceh, banyak berdatangan ulama¬ luar untuk mengembangkan Islam dan memperdalam ilmunya. Pada waktu itu, lahir ulama-ulama besar. Selain menguasai ilmu yang luas, ulama-ulama tersebut juga melahirkan hasil karya yang gemilang di bidang penulisan kitab-kitab ilmu agama Islam, baik itu Fiqh, Tauhid, Fisika, dan Sosiologi. Penulis-penulis terkenal dengan hasil karyanya, antara lain.

a. Hamzah Fansuri
SYEIKH Hamzah Fansuri, seorang ulama, pengarang, dan pujangga ternama yang menganut aliran Tarikat/Filsafat Wihdatul Wujud. Hidup di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 M. Kitab-kitab karangannya antara lain Asyrabul 'Asyiqin Wa Zinatul Muwahhidin (berisi tentang filsafat, membahas Tarikat Syariat, Hakikat dan Ma'rifat), Asrarul Arifin Fi Ilmis Suluk Wat Tauhid (akhlak dan ketuhanan), Al-Muntahi (kandungan ajaran Wihdatul Wujud yang diungkapkan dalam bentuk puisi), dan Ruba'i Hamzah Fansuri (berbentuk puisi yang merupakan inti ajaran Wihdatrul Wujud).

b. Syamsuddin Sumatrany
SYEIKH Syamsuddin, seorang ulama dan negarawan yang menjadi Qadhi Malikul Adil masa Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636 M, 1016 - 1045 H). Kitab berbahasa Melayu yang ditulisnya, antara lain Mir'atul Mukmin (Akhlak dan llmu Tasawuf), Jauharul Haqaiq (Filsafat, membahas Ilmu Tauhid atau Ketuhanan), Risalatul Baiyin Mulaladhatil Muwahhidin 'Ala Mulhid Fi Zikrillah (Filsafat, menolak paham ateisme), Kitabul Harakah, Nurul Daqaiq (Kepercayaan dan Ketuhanan), Mi'ratul Iman (Filsafat dan Keimanan) Syarah Mir'atul Qulub (Akhlak dan Tasawuf), Tazyin, Syar'ul Arifin (Ketuhanan), Ushulat tahqiq (Ketuhanan), Mir'atul Haqiqah (Hakikat dan Ma'rifat), Kitabul Martabah (Filsafat dan Nilai-nilai Manusia), Risalatul Wahhab (Ilmu Tauhid), Mir'atul Muhaqiqin (Tarikat dan Wihdatul Wujud), Thanbihullah (Akhlak), Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (Kitab Filsafat, menguraikan karya sastra Ruba'i Hamzah Fansuri).

c. Syeikh Nuruddin Ar-Raniry
SYEIKH Nuruddin Ar-Raniry, seorang ulama besar, politikus, negarawan, yang menjadi Qadhi Malikul Adil masa Sultan Iskandar Muda dan Ratu Safiatuddin, 1045-1086 H (1641-1675 M). Kitabnya berbahasa Melayu, antara lain: Ash Shiratul Mustaqim (berisikan hukum Islam, fiqh), Darul Faraidl bi Syarhil'Aqaid (Filsafat dan Ketuhanan), Bustanus Salatin fi Zikril wa Akhirin (Sejarah), Akhbarul Akhirah fi Awwali Yaumil Oiyamah (bahasan Hari Kebangkitan), Havatul Habib fi Targhib wa Targhib (Filsafat Akhlak), At-Tibyan fi ma'rifatil Adyan (hal ihwal Aliran Agama), Asrarul Insan fi Ma'rifatir Ruhi war Rahman (Ruh dan Ketuhanan), Lahiful Asrar (Rahasia Alam), Nubzah Fi Dakwazil Mada Shahibin (berisikan Filsafat, menolak Wihdatul Wujud), Hilluz Zil (membahas Ketuhanan dan menolak Wihdatul Wujud), Syifaul Qulub (Filsafat dan Akhlak), Umdatul I’tiqad (masalah Keimanan), Maul Hayati, Li Ahlil Mamati (membahas Hidup dan Mati, Filsafat), Jawahirul Ulum fi Kasyil Ma’lum (membahas masalah Ketuhanan), Bad - U Khalqis Samawati Wal Ardhi (membahas tentang Langit dan Bumi), Hujjatus Shadiq Li Dafiz Zindiy (membahas kesalahan Kaum Zindiq, Ateisme), Fathul Mubin'AIaI Mulihidin (kitab yang membantah Kaum Mulihid, membantah Ateisme), Al - Lam'u ft Tafkiri Man Qalabil Khalqil Our’an (menolak Kaum Mu'tazilah yang mengatakan Al-Quran itu makhluk), Tambihul Awamili fi Tahqiqil Kalami fi Nawafil (membahas masalah Tasauf), Shawarinush Shadiq li Qath'iz Zindiq (kitab yang menolak Kaum Zindiq, kaum sesat), Rahiqul Muhammadiyah fi Thariqish Shufiyah (kitab yang membahas Tasawuf berdasarkan Sunnah Nabi), Kisah Iskandar Zulkarnain (Kitab Sejarah), Hikayat Raja Badar (karya sastra dalam puisi/syair, kisah Perang Badar), Babun Nikah, Saqyur Rasui (Kitab yang membahas perjuangan hidup dan sejarah Rasul), Mu'amadul I'tiqad, Hidayat Mubtadi fi Padhli Ilahi Muhdi (Kitab Ilmu Tasauf).

d. Syeikh Abdur Rauf (Syiah Kuala)
SYEIKH Abdur Rauf, seorang ulama besar, negarawan, filosof, yang menjadi Qadhi Malikul Adil masa Ratu Safiatuddin dan tiga Ratu sesudahnya (1086-1109 H, 1675-1699 M). Beliau adalah ulama yang mendamaikan rakyat dan para pemimpin Aceh pada masa itu, karena bertentangan pendapat akan Ratu wanita dan perselisihan perebutan kekuasaan. Karena kebijaksanaannya, semua lapisan masyarakat hidup rukun dan damai, beliau juga mengarang kitab ilmu pengetahuan dalam bahasa Melayu, antara lain: Turjumanul Mustafid (Kitab yang berisikan Tafsir Al-Quran pertama dalam bahasa Melayu), Mir’atul Thullab (Kitab yang berisikan Hukum Islam, melengkapi segala bidang hukum termasuk Hukum Dagang dan Tata Negara), Umdatul Ahkam (Kitab Pengantar Ilmu Hukum Islam), Umdatul Muhtajin Ila Suluki maslaki Mufradin (Filsafat Akhlak), Kifayatul Muhtajin (Akhlak), Daqaiqul Huruf (Rahasia-rahasia Huruf), Hidayatul Balaghah'Ala Jumatil Mukhasamah (Kitab Hukum Acara dalam Islam), Bayan Tajalli (Kitab Filsafat Ketuhanan, menolak faham Wihdatul Wujud), Syair Ma'rifat (karya sastra yang berbentuk puisi membahas tentang Ma'rifat/Ketuhanan).

e. Syeikh Jalaluddin Tursani
SYEIKH Jalaluddin Tursany, seorang ulama, ahli huku¬m Islam kenamaan yang menjadi Qadhi Malikul Adil masa Sultan Alaiddin Johan Syah, 1147-1174 H (1733-1760 M). Beliau juga ¬pengarang dan hasil tulisannya dalam bahasa Melayu, antara lain: Mudharul Ajla IIa Rutbaitil A'la (kitab yang mengandung Filsafat, membahas hubungan makhluk dengan Khaliq, Tuhan), Safinatul Hukam (kitab Hukum Islam yang membahas Hukum Dagang, Hukum Keluarga, Hukum Tata Negara, Hukum Perdata/Pidana dan Teori-teori Pemerintahan yang Maju, bahkan wanita menjadi Raja).

f. Syeikh Jamaluddin
SYEIKH Jamaluddin, seorang ulama, merupakan putera Syeikh Kamaluddin (pengarang, negarawan, dan Qadhi Malikul Adil masa Sultan Alaiddin Maharaja Lela Ahmed Syah, 1139-1149 H (1727-1735 M).

g. Syeikh Abdullah Al- Asyi
SYEIKH Abdul Al-Asyi, seorang ulama, politikus, negarawan, pengarang, dan Qadhi Malikul Adil masa Sultan Alaiddin Jauharul Alam Syah, 1209-1238 H (1795-1823 M). Karangannya adalah Yitab Syifa'ul Qulub, berisi Tasawuf dan Akhlak dan 400 Hadist Shahih.

h. Syeikh Muhammad Zein
SYEIKH Muhammad Zein, seorang ulama, negarawan, pengarang, dan Qadhi Malikul Adil masa Sultan Alaiddin Mahmud Syah, 1174-1195 H (1760¬-1781 M). Kitab karangannya, antara lain: Kasyful Kiram (kitab yang membahas masalah Akhlak dan Tasawuf), Takhishul Falah (kitab Filsafat Akhlak).

i. Syeikh Muhammad bin Ahmad Khatib
SYEIKH Muhammad bin Ahmad Khatib, seorang ulama, ahli hukum Islam, hidup masa Sultan Alaiddin Sulaiman Ali Iskandar Syah, 1251-1285 H (1836-1870 M). Karangannya adalah Kitab Dawaul Qulub, yang berisi tentang Ilmu Tasawuf.

j. Syeikh Abbas Kuta Karang
SYEIKH Abbas Kuta Karang, seorang ulama, ¬pengarang, tabib, ahli ilmu perbintangan (ilmu falak), negarawan, dan Qadhi Malikul Adil masa Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah, 1273-1286 H (1857-1870 M). Hasil karangannya antara lain: Sirajul Zalam fi Ma'rifati Sa'adi Wal Nahas (kitab berisi Ilmu Hisab, Ilmu Perbintangan, dan lain-lain), Kitabur Rahmah (kitab terjemahan dari bahasa Arab, membahas tentang Ketabiban, Obat-obatan, hingga sekarang masih dipakai oleh tabib-tabib di Aceh), Kitab Ilmu Falak dan Ilmu Mikat.

k. Syeikh Daud Rumi
TERKENAL dengan Teungku Chik di Leupue, Putera Syeikh Ismail bin Mustafa Rumi (ulama yang datang dari Turki Usmaniyah) bersama Syeikh Abdur Rauf (Syiah Kuala) mengelola Dayah Manyang Leupue. Hasil karangannya antara lain Risalah Masail Muhtadihi ikhwanil Mubtadi yang ditulis dalam bahasa Melayu. Kitab ini berisi pelajaran lengkap tentang agama Islam dan digunakan di seluruh Negara Asia Tenggara. Hingga sekarang sudah 100 (seratus) kali dicetak, dipakai oleh seluruh dayah di Nusantara.

l. Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib Al - Asyi
BELIAU bermukim di Mekkah, pada abad ke-19 telah mengumpulkan naskah karangan ulama terdahulu dan mencetaknya. Salah satu kumpulan karangan itu dinamakan Jam’u Jawamil Mushasanfat dan satu kumpulan lain bernama Tajul Muluk. (Iskandar Norman)

SeJaRaH AceH (Versi Singkat)

Sejarah Aceh (Versi singkat yang di tulis oleh sdr. Ahmad Sudirman)

SEBELUM DINASTI USMANIYAH DI TURKI BERDIRI, KERAJAAN ISLAM SAMUDERA-PASAI DI ACEH TELAH BERDIRI
Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dengan tahun 1385 M-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia bagian Asia, telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang berada di wilayah Aceh yang didirikan oleh Mara Silu yang segera berganti nama setelah masuk Islam dengan nama Malik ul Saleh yang meninggal pada tahun 1297. Dimana penggantinya tidak jelas, namun pada tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik ul Zahir, cucu Malik ul Saleh.

KETIKA SRIWIJAYA-PALEMBANG-BUDDHA LEMAH, MUNCUL SAMUDERA-PASAI-ACEH-ISLAM
Kedaulatan kerajaan Sriwijaya (684 M- 1377 M) dibawah dinasti Syailendra dengan rajanya yang pertama Balaputera Dewa, yang berpusat di Palembang Sumatera Selatan makin kuat dan daerahnya makin luas, setelah daerah dan kerajaan Melayu, Tulang Bawang, Pulau Bangka, Jambi, Genting Kra dan daerah Jawa Barat didudukinya
Ketika Sriwijaya sedang mencapai puncak kekuatannya, ternyata mengundang raja Rajendrachola dari Cholamandala di India selatan tidak bisa menahan nafsu serakahnya, maka pada tahun 1023 lahirlah serangan dari raja India selatan ini kepada Sriwijaya. Ternyata dinasti Syailendra ini tidak mampu menahan serangan tentara Hindu India selatan ini, raja Sriwijaya ditawannya dan tentara Chola dari India selatan ini kembali ke negerinya. Walaupun Sriwijaya bisa dilumpuhkan, tetapi tetap kerajaan Buddha ini hidup sampai pada tahun 1377.
Disaat-saat Sriwijaya ini lemah, muncullah kerajaan Islam Samudera-Pasai di Aceh dengan rajanya Malik ul Saleh dan diteruskan oleh cucunya Malik ul Zahir.

POLITIK SAMUDERA-PASAI-ISLAM BERTENTANGAN DENGAN POLITIK GAJAH MADA-MAJAPAHIT-SYIWA-PALAPA
Gajah Mada yang diangkat sebagai patih di Kahuripan (1319-1321) oleh raja Jayanegara dari Majapahit. Dan pada tahun 1331, naik pangkat Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit yang diangkat oleh raja Tribuana Tunggadewi.
Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan sumpah palapa yang berisikan "dia tidak akan menikmati palapa sebelum seluruh Nusantara berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit".
Ternyata dengan dasar sumpah palapanya inilah Gajah Mada merasa tidak senang ketika mendengar dan melihat bahwa Samudera-Pasai-Islam di Aceh makin berkembang dan maju.
Pada tahun 1350 Majapahit menggempur Samudera-Pasai dan mendudukinya. 27 tahun kemudian pada tahun 1377 giliran Sriwijaya digempurnya, sehingga habislah riwayat Sriwijaya sebagai negara buddha yang berpusat di Palembang ini.

GILIRAN MAJAPAHIT-HINDU DIGEMPUR DEMAK-ISLAM
Ketika raja Hayam Wuruk dari Majapahit meninggal tahun 1389, digantikan oleh putrinya Kusumawardani dan suaminya. Ternyata pada masa ini timbul perang saudara antara Kusumawardani dengan Wirabhumi (putra Hayam Wuruk dari selirnya). Dalam perang saudara yang dikenal dengan nama Paregreg (1401-1406) Wirabhumi bisa dikalahkan.
Akibat dari perang saudara ini Majapahit menjadi lemah dan mundur dan titik lemahnya adalah ketika Girindrawardana memegang tapuk pimpinan Majapahit dan pada tahun 1525 digempur oleh Kerajaan Islam Demak yang dibangun oleh Raden Patah yang tertarik dan belajar Islam di Sunan Ngampel, yang juga sebenarnya Raden Patah ini masih keturunan raja Majapahit yaitu Brawijaya.

ACEH LAWAN PORTUGIS
Ketika kerajaan Islam Samudera-Pasai lemah setelah mendapat pukulan Majapahit dibawah Gajah Mada-nya, maka Kerajaan Islam Malaka yang muncul dibawah Paramisora (Paramesywara) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis dibawah pimpinan Albuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan Ali Mukayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya oleh Sultan-sultan Aceh ini.
Selama periode akhir abad 17 sampai awal abad 19 keadaan Aceh tenang.

SEBAB TIMBUL PERANG ACEH LAWAN BELANDA
Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena,
1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
2. Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
3. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
4. Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
5. Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
6. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

PERANG ACEH DARI TAHUN 1873 SAMPAI TAHUN 1904
Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh. Perang pertama yang dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Kohler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Kohler sendiri tewas pada tanggal 10 April 1873.
Perang kedua, dibawah Jenderal Van Swieten berhasil menduduki Keraton Sultan dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda.
Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.
Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya' Dien istri Teuku Ummar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.

SIASAT SNOUCK HURGRONYE
Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga akhli Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Dimana isi nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah, Supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan. Menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronye diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya.

TAKTIK PERANG GERILYA ACEH DITIRU VAN HEUTZ
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marsuse yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macannya yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van Der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah ke Lo' Seumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nya' Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya' Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Cianjur.

SURAT PERJANJIAN PENDEK TANDA MENYERAH CIPTAAN VAN HEUTZ
Van Heutz telah menciptakan surat pendek penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Dimana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda. Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. (RH Saragih, J Sirait, M Simamora, Sejarah Nasional, 1987)

ACEH TIDAK TERMASUK ANGGOTA NEGARA-NEGARA BAGIAN RIS
41 tahun kemudian semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai, sebelum Van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).
Dimana ternyata Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi seluruh Indonesia yaitu yang terdiri dari,
1. Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan perjanjian Renville.
2. Negara Indonesia Timur.
3. Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
4. Negara Jawa Timur
5. Negara Madura
6. Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
7. Negara Sumatra Selatan
8. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
9. Daerah.daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.
Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada
tanggal 20 Desember 1949.

PENGAKUAN BELANDA KEPADA KEDAULATAN RIS TANPA ACEH
Belanda dibawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautnan Mr AMJA Sassen dan ketua Delegasi RIS Moh Hatta membubuhkan tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986)

KEMBALI KE NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu, beberapa negara bagian menggabungkan ke RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanya tiga negara bagian yaitu, RI, NST (Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara Indonesia Timur).
Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.
Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)

MAKLUMAT NII ACEH OLEH DAUD BEUREUEH
3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia di bawah Imam SM Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.
Isi Maklumat NII di Aceh adalah,
Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.
Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja.
1. Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
2. Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
3. Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
4. Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara.
Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.
5. Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
6. Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.
Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953

DESEMBER 1962 DAUD BEUREUEH MENYERAH KEPADA PENGUASA DAULAH PANCASILA
Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan "Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)

HASAN DI TIRO MENDEKLARASIKAN NEGARA ACEH SUMATERA 4 DESEMBER 1976
14 tahun kemudian setelah Daud Beureue menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila, Hasan Muhammad di Tiro pada tanggal 4 Desember 1976 mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra. Dimana bunyi deklarasi kemerdekaan Negara Aceh Sumatra yang saya kutif dari buku "The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro" (National Liberation Front of Acheh Sumatra,1984) yang menyangkut " Declaration of Independence of Acheh Sumatra" (hal: 15-17) adalah,
"To the people of the world: We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of self-determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java....In the name of sovereign people of Acheh, Sumatra. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Chairman, National Liberation Front of Acheh Sumatra and Head of State Acheh, Sumatra, December 4, 1976". ("Kepada rakyat di seluruh dunia: Kami, rakyat Aceh, Sumatra melaksanakan hak menentukan nasib sendiri, dan melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang negara kami, dengan ini mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa....Atas nama rakyat Aceh, Sumatra yang berdaulat. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Ketua National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra, 4 Desember 1976") (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra,1984, hal : 15, 17).

Channel: JomBLo NeT
Link

Senin, 11 Mei 2009

Stempel Kerajaan Pase Ditemukan

* Diperkirakan Berusia 683 Tahun


LHOKSUKON - Tim peneliti sejarah Kerajaan Pase Samudera Aceh Utara, belum lama ini menemukan sebuah stempel yang diperkirakan berusia sekitar 683 tahun. Saat ditemukan, stempel tersebut tertanam dalam tanah di kawasan peninggalan Kerajaan Samudera Pasai di Desa Kuta Krueng Kecamatan Samudera, Aceh Utara. Lokasi penemuan itu tidak jauh dari kompleks makam Abdullah Ibn Muhammad yang meninggal pada tahun 816 Hijriyah atau 1414 M.

Peneliti sejarah, Tgk Taqiyuddin Muhammad mengatakan, stempel itu diyakini milik Sultan Muhammad Al-Malik Azh-Zhahir (meninggal 726 H/1326 M). Sebab, menurutnya, Sultan Muhammad Al-Malik Azh-Zhahir adalah kepala pemerintahan Kerajaan Samudera Pase setelah Al-Malik Ash-Shalih (meninggal 696 H/1297 M). “Karena itu stempel tersebut diperkirakan berusia sekitar 683 tahun dan merupakan cap kerajaan Islam tertua yang pernah ditemukan di nusantara,” ujar Taqiyuddin kepada Serambi, Senin (16/3).

Menurutnya, stempel berbentuk potongan benda kecil itu ditemukan Erwin (18), warga Kuta Krueng Kecamatan Samudera, beberapa waktu lalu dan kemudian ia menyimpannya dengan baik. Namun, lanjutnya, baru-baru ini Erwin memberitahukan temuannya kepada Ramlan Yusuf, juru kunci makam Ratu Nahrisyah yang juga anggota Tim Penelitian dan Dokumentasi Sejarah Kerajaan Islam Samudra Pasai pada Yayasan Waqaf Nurul Islam Lhokseumawe.

Mendapat informasi itu, Ramlan langsung membawa dan melaporkan benda temuan tersebut ke sekretariat tim penelitian yakni Tgk Taqiyuddin. Setelah diteliti, kata Taqiyuddin, ternyata benda unik berukuran 2 X 1 cm dengan gagang yang telah patah, dan menyisakan bagian bolongan bundar pada pangkal gagangnya diyakini adalah stempel. Beratnya, kata dia, tak sampai 1 mg dan tampaknya terbuat dari bahan sejenis tanduk hewan.

Dari lokasi ditemukannya di Kuta Krueng, lanjutnya, diperkirakan cap itu telah digunakan sampai masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin bin Ahmad di permulaan abad IX H/XV M. Dengan penemuan itu, katanya lagi, maka klaim sementara sejarawan tentang ekspansi serta penguasaan hinduisme majapahit atas Samudera Pase di pertengahan abad XIV, pantas diragukan.

Disebutkan, kalimat yang terukir dengan khath kufi pada stempel itu ialah, ‘Mamlakah Muhammad’ yang artinya Kerajaan Muhammad. “Khath ini memang lazim digunakan sejak abad I-V hijriah untuk menulis atau menyalin sesuatu yang punya nilai penting dan besar seperti mushaf Alquran dan monumen tertentu untuk peringatan atau kenangan, sebelum kemudian peran itu digantikan oleh khath nasakh (naskhi),” jelasnya.

Terkait dengan temuan itu, ia mengimbau pemkab setempat agar tidak mengusik kawasan peninggalam Samudera Pasai itu dengan membangun berbagai bangunan seperti monumen atau lainnya, apalagi di areal yang relatif sangat dekat dengan kompleks pemakaman Al-Malik Ash-Shalih, di Desa Beuringen Kecamatan Samudera. Sebab, diyakini masih banyak benda lain yang menyangkut sejarah Kerajaan Samudera Pase yang tersimpan dalam tanah. “Kita berkewajiban menyelamatkan apa yang masih tersisa dari Samudera Pase,” katanya.(ib)

Sumber : Serambi Indonesia

Struktur Militer Angkatan Perang Kerajaan Aceh Darussalam

Struktur Militer Angkatan Perang Kerajaan Aceh Darussalam
Untuk mengenang kembali masa keemasan,kejayaan dan kebesaran Kerajaan Aceh Darussalam dengan angkatan perangnya yang tangguh didaratan maupun lautan seperti yang saya kutip dari Kandar Atjeh dibawah ini saya tampilkan gelar-gelar perwira di Departemen Pertahanan dan susunan pangkat maupun jabatan angkatan perang zaman Kerajaan Aceh Darussalam

Balai Laksamana Amirul Harb

Menurut Qanun Meukuta Alam (Konstitusi Negara/Undang-undang Kerajaan Aceh Darussalam), di antara lembaga-lembaga negara tertinggi terdapat Balai Laksamana Amirul Harb (Departemen Pertahanan), dan pejabat tinggi yang memimpinnya bergelar Orangkaya Laksamana Wazirul Harb (Menteri Pertahanan) yang mengepalai Angkatan Darat dan Angkatan Laut.

Qanun selanjutnya menyebutkan gelar-gelar perwira pada Balai Laksamana, yaitu:

1. Seri Bentara Laksamana
2. Tandil Amirul Harb
3. Tandil Kawal Laksamana
4. Budjang Kawal Bentara Sijasah
5. Budjang Laksamana
6. Tandil Bentara Semasat
7. Budjang Bentara Sidik
8. Tandil Radja
9. Budjang Radja
10. Magat Seukawat
11. Budjang Akijana; dan
12. Tandil Gapounara Sijasah

Pembangunan Angkatan Perang

Sultan Ali Mughayat Syah (1511-1530 M), pembangun Kerajaan Aceh Darussalam telah menetapkan empat dasar kebijakan negara, salah satu di antaranya yaitu, membangun Armada (Angkatan Laut) yang kuat.


Sultan Alaiddin Riayat Syah (1539-1572 M) yang lebih terkenal dengan Al Qahhar segera melanjutkan rencana Ali Mughayat Syah dengan membangun armada dan angkatan perang yang kuat, sekaligus menjalin kerjasama militer dengan negara Turkey Ottoman (Turki Usmani). Tenaga-tenaga ahli teknik untuk keperluan zeni didatangkan dari Turki, Arab dan India. Turki sendiri mengirim 300 tenaga ahli yang dimaksud.

Sultan Iskandar Muda ( Iskandar I, 1606-1636 M) yang mendasarkan kerjanya pada filsafat, Siapa kuat hidup, siapa lemah tenggelam terus memperkuat dan mempermodern angakatan perangnya darat dan laut.

Pangkat-Pangkat Militer Angkatan Perang Atjeh

1. Si Pai (Prajurit)
2. Tjut (Kopral)
3. Banta Sedang ( Sersan)
4. Banta (Sersan Mayor)
5. Banta Setia (Pembantu Letnan)
6. Pang Tjut ( Letnan II)
7. Pang Muda ( Letnan I)
8. Pang (Kapten)
9. Bentara Tjut ( Mayor)
10. Bentara Muda (Letnan Kolonel)
11. Bentara (Kolonel)
12. Panglima Sukey (Brigadir Jenderal)
13. Panglima Tjut (Mayor Jenderal)
14. Panglima Muda (Letnan Jenderal)
15. Panglima (Jenderal)

Buhon Angkatan (Pasukan Tentara)

1. Sabat (Regu)
2. Rakan (Peleton)
3. Kawan (Kompi)
4. Balang ( Batalyon), Ulee Balang (Komandan Batalyon)
5. Sukey (Resimen)
6. Sagoe ( Devisi)

Neumat Buet (Jabatan)

1. Ulee (Komandan)
2. Rama Setia (Ajudan)
3. Keudjruen (Ajudan Jenderal)
4. Keudjruen Panglima (Ajudan Panglima)
5. Keudjruen Balang (Ajudan Batalyon)
6. Peurintah (Komando)
7. Adat (Staf)
8. Tuha Adat (Kepala Staf)
9. Adat Meuhad (Staf khusus)
10. Kaway (Petugas penjagaan/piket)

Adat Peurintah Sagoe ( Staf Komando Devisi)
1. Panglima Peurintah Sagoe (Panglima Devisi)
2. Panglima Wakilah (Wakil Panglima)
3. Bentara Rama Setia (Ajudan Kolenel)
4. Pang Setia (Ajudan Kapten)
5. Tuha Adat Peurintah (Kepala Staf Komando)
6. Keudjreun (Staf ajudan)
7. Pang Muda Setia (Ajudan Letnan)
8. Adat Samaindra (Staf Administrasi)
9. Adat Seumasat (Staf Intelijen)
10. Adat Peunaroe (Staf Operasi)
11. Adat Seunaroe (Staf Logistik)
12. Adat Meuhad (Staf Khusus)
13. Bala Sidek Tantra (Korps Polisi Militer)
14. Bala Tantra Rantoe (Tentara Lapangan/infanteri)
15. Bala utoh Pande (Korps Zeni Bangunan)
16. Bala Surah Hanta (Korps Perhubungan)
17. Bala Buleun Mirah (Korps Palang Merah)
18. Bala Dapu Balee (Korps Perbekalan Barak)
19. Balang Balee Raya (Batalyon Garnizun)
20. Balang Meuriam Lila (Batalyon Alteleri)
21. Kawan Bala Gajah (Batalyon Kaveleri)
22. Mentara Tuha Adat (Kepala Staf)
23. Ulee Adat (Perwira Staf)
24. Ulee Bala (Kepala Korps)
25. Ulee Kawan (Komandan Kompi)
26. Ulee Balang (Komandan Batalyon, yang merangkap sebagai kepala pemerintahan sipil)

Demikian sekilas tentang struktur militer angkatan perang Kerajaan Aceh Darussalam yang sudah terkenal berabad-abad yang silam.

Selasa, 17 Maret 2009

SILSILAH RAJA-RAJA ACEH

MENGUAK pertalian Raja-raja Aceh Sejak Kerajaan Perlak Sebuah buku berjudul “Silsilah Raja-Raja Islam di Aceh dan Hubungannya dengan Raja-Raja Islam di Nusantara,” diterbitkan pelita Gading Hidup Jakarta, ditulis Pocut Haslinda Syahrul Muda Dalam, mencoba menguak pertalian raja-raja di Aceh sejak pra Islam.

dalam suatu forum di Balai Kartini, Jakarta, 16 Nopember 2008 silam. Malam harinya, di gedung yang sama dipentaskan “drama musikal” yang memuat informasi silsilah raja-raja Aceh tersebut serta peranan kaum perempuan Aceh sejak abad VIII dampai abad XXI. Pentas itu disutradari Dedi Lutan berdasarkan nasakah yang ditulis Pocut Haslinda Syahrul MD binti Teuku H Abdul Hamid Azwar, waris Tun Sri Lanang ke-8.

Sebetulnya masih ada tiga buku lain yang dihasilkan Pocut Haslinda dalam waktu bersamaan, yaitu “Perempuan Aceh dalam Lintas Sejarah Abad VIII-XXI, Tun Sri Lanang dan Terungkapnya Akar Sejarah Melayu, dan Dua Mata Bola di Balik Tirai Istana Melayu.”

Untuk menggenapi informasi “Silsilah Raja-Raja Aceh” dan ketiga bukunya itu, Pocut Haslinda, pernah menempuh pendidikan fashion dan model di Paris, Jerman, dan London (1965-1970) membaca lebih dari 1000 judul buku ditulis oleh penulis dalam dan luar negeri.

Buku “Silsilah Raja-Raja Aceh” itu secara sederhana mencoba menarik garis pertautan raja-raja Aceh sejak awal abad ke 8 pada masa Kerajaan Perlak, kemudian berkembang menjadi kerajaan-kerajaan lain di Aceh, termasuk persinggungan yang sangat penting dan fundamental dengan Kerajaan Isaq di Gayo, dan pertautan raja-raja Aceh dengan Perak, Johor, Deli-Serdang, Majapahit, Demak, Wali Songo dan sebagainya.

Kisah kedatangan satu delegasi dagang dari Persia di Blang Seupeung, pusat Kerajaan Jeumpa yang ketika itu masih menganut Hindu Purba. Salah seorang anggota rombongan bernama Maharaj Syahriar Salman, Pangeran Kerajaan Persia yang ditaklukkan pada zaman Khalifahtur Rasyidin. Salman adalah turunan dari Dinasti Sassanid Persia yang pernah berjaya antara 224 - 651 Masehi. Setelah penaklukkan, sebahagian keluarga kerjaan Persia ada yang pergi ke Asia Tenggara.

Kerajaan Jeumpa, ketika itu dikuasai Meurah Jeumpa. Maharaj Syahriar Salman kemudian menikah dengan putri istana Jeumpa bernama Mayang Seludang. Akibat dari perkawinan itu, Maharaj Syahriar Salman tidak lagi ikut rombongan niaga Persia melanjutkan pelayaran ke Selat Malaka. Pasangan ini memilih “hijrah” ke Perlak (sekarang Peureulak,red), sebuah kawasan kerajaan yang dipimpin Meurah Perlak.

Meurah Perlak tak punya keturunan dan memperlakukan “pengantin baru” itu sebagai anak. Ketika Meurah Perlak meninggal, kerajaan Perlak diserahkan kepada Maharaj Syahriar Salman, sebagai Meurah Perlak yang baru. Perkawinan Maharaj Syahriar Salman dan Putri Mayang Sekudang dianugerahi empat putra dan seroang putri; Syahir Nuwi, Syahir Dauli, Syahir Pauli, SyahirTanwi, dan Putri Tansyir Dewi.

Syahir Nuwi di kemudian hari menjadi Raja Perlak yang baru menggantikan ayahandanya. Dia bergelar Meurah Syahir Nuwi. Syahir Dauli diangkat menjadi Meurah di Negeri Indra Purba (sekarang Aceh Besar, red). Syahir Pauli menjadi Meurah di Negeri Samaindera (sekarang Pidie), dan si bungsu Syahir Tanwi kembali ke Jeumpa dan menjadi Meurah Jeumpa menggantikan kakeknya. Merekalah yang kelak dikenal sebagai “Kaom Imeum Tuha Peut” (penguasa yang empat). Dengan demikian, kawasan-kawasan sepanjang Selat Malaka dikuasai oleh keturunan Maharaj Syahriar Salman dari Dinasti Sassanid Persia dan Dinasti Meurah Jeumpa (sekarang Bireuen).

Sementara itu, Putri Tansyir Dewi, menikah dengan Sayid Maulana Ali al-Muktabar, anggota rombongan pendakwah yang tiba di Bandar Perlak dengan sebuah kapal di bawah Nakhoda Khalifah. Kapal itu memuat sekitar 100 pendakwah yang menyamar sebagai pedagang. Rombongan ini terdiri dari orang-orang Quraish, Psalestina, Persia dan India. Rombongan pendakwah ini tiba pada tahun 173 H (800 M). Sebelum merapat di Perlak, rombongan ini terlebih dahulu singgah di India.

Syahir Nuwi yang menjadi penguasa Perlak menyatakan diri masuk Islam, dan menjadi Raja Perlak pertama yang memeluk Islam.Sejak itu, Islam berkembang di Perlak. Perkawinan Putri Tansyir Dewi dengan Sayid Maulana Ali al-Muktabar membuahkan seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, yang kelak setelah dewasa dinobatkan sebagai Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, sultan pertama Kerajaan Islam Perlak, bertepatan dengan 1 Muharram 225 Hijriah.

Sayid Maulana Ali al-Muktabar berfaham Syiah, merupakan putra dari Sayid Muhammad Diba‘i anak Imam Jakfar Asshadiq (Imam Syiah ke-6) anak dari Imam Muhammad Al Baqir (Imam Syiah ke-5), anak dari Syaidina Ali Muhammad Zainal Abidin, yakni satu-satunya putra Syaidina Husen, putra Syaidina Ali bin Abu Thalib dari perkawinan dengan Siti Fatimah, putri dari Muhammad Rasulullah saw. Lengkapnya silsilah itu adalah: Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah bin Sayid Maulana Ali-al Muktabar bin Sayid Muhammad Diba‘i bin Imam Ja‘far Asshadiq bin Imam Muhammad Al Baqir bin Syaidina Ali Muhammad Zainal Abidin Sayidina Husin Assyahid bin Sayidina Alin bin Abu Thalib (menikah dengan Siti Fatimah, putri Muhammad Rasulullah saw).

Keikutsertaan Sayid Maulana Ali al-Muktabar dalam rombongan pendakwah merupakan penugasan dari Khalifah Makmun bin Harun Al Rasyid (167-219 H/813-833 M) untuk menyebarkan Islam di Hindi, Asia Tenggara dan kawasan-kawasan lainnya. Khalifah Makmun sebelumnya berhasil meredam “pemberantakan” kaun Syiah di Mekkah yang dipimpin oleh Muhammad bin Ja‘far Ashhadiq.

Raja Isaq Gayo dan Turunannya
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulan memiliki tiga putra; Meurah Makhdum Alaiddin Ibrahim Syah, kemudian menjadi Sultan ke-8; Maharaja Mahmud Syah yang kemudian menjadi Raja Salasari Islam I di Tanoh Data (Cot Girek); Meurah Makhdum Malik Isaq (Isak) mendirikan Negeri Isaq I.

Meurah Isaq memiliki putra bernama Meurah Malik Masir yang juga dikenal sebagai Meurah Mersa alias Tok (Tuk) Mersa, diangkat sebagai Raja Isaq II mernggantikan ayahandanya. Tok Mersa memiliki tujuh putra yakni: 1) Meurah Makhdum Ibrahim mendirikan Negeri Singkong. Cucu Meurah Makhdum ini bernama Malikussaleh di kemudian hari mendirikan Kerajaan Samudra Pasai. 2) Meurah Bacang mendirikan Kerajaan Bacang Barus. 3) Meurah Putih mendirikan Kerajaan Beuracan Merdu. 4) Meurah Itam mendirikan Kerajaan Kiran Samalanga. 5) Meurah Pupok mendirikan Kerajaan Daya Aceh Barat. 6) Merah Jernang mendirikan kerajaan Seunagan. 7) Meurah Mege (Meugo) menjadi Raja Isaq III.

Dari turununan Meurah Mege lahir Sultan Abidin Johansyah pendiri Kerajaan Aceh Darussalam (1203-1234) sampai Sultan Daud Sjah (1874-1939). Turunen Meurah Mege lain, Syekh Ali al Qaishar anak dari Hasyim Abdul Jalil hijrah ke Bugis dan menikah dengan putri bangsawan Bugis yang kelak cucu psangan ini bergelar Daeng. Di antara anak-cucunya, ada yang pulang ke Aceh bernama Daeng Mansur atau Tgk Di Reubee dan mempunyai seorang putra bernama Zainal Abidin dan seorang putri bernama Siti Sani yang dinikahi Sultan Iskandar Muda.

Di tanah Jawa, Turunan Tok Mersa bernama Puteri Jempa nikah dengan Raja Majapahit terakhir kemudian lahir Raden Fattah yang menjadi Raja Demak. Turunen Tok Mersa lain, yakni Fatahillah menyusul ke Jawa menikah dengan adik Sultan Demak. Fatahillah mendirikan kerajaan Cirebon dan anaknya mendirikan Kerajaan Banten. Fatahillah dikenal juga Sunan Gunung Jati menikah dengan Ratu Mas anak Raden Fattah, cucu Majapahit, keturunannya turun temurun menjadi raja dan pembangun Demak, Cirebon, Banten dan Walisongo.

Melihat pertautan raja-raja Aceh itu, jelasnya bagi kita bagaimana sebenarnya hubungan erat satu sama lain. Pada awalnya, mereka berangkat dari “indatu” yang sama dari Perlak. (fikar w.eda)
Penulis: Fikar W Eda
Sumber Harian Serambi Indonesia